Senin, 09 Juni 2008

Pesona Kain Pesisir

Tanggal : 8 april 2008
Pesona Kain Pesisir KAIN tradisional Indonesia tengah berjaya. Para desainer kini merancang kain tradisional menjadi busana kontemporer agar lebih mudah menjangkau masyarakat. Salah satu organisasi yang tak lelah mencuatkan kain tradisional adalah organisasi Rumah Pesona Kain (RPK). Setelah sukses menggelar pameran dan pergelaran busana bermateri kain nasional, RPK kembali menyelenggarakan kegiatan serupa. Namun, kali ini mereka mencoba memberi pendekatan yang berbeda dengan menghadirkan kain pesisir sebagai bintang utama. Bertajuk "The Enchanting Chinese Influences in Indonesian Textiles", pergelaran tersebut juga bertujuan untuk memeriahkan tahun baru Imlek 2008. Ketua RPK Ike Nirwan Bakrie mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan organisasinya tersebut didasari keinginan untuk terus melestarikan kain Nusantara dan meningkatkan apresiasi masyarakat atas kain tradisional. "Menyemarakkan tahun baru Imlek 2008, kami sengaja mengangkat pesona kain pesisir," sebutnya. Ike mengatakan, kain pesisir dipilih karena banyak dipengaruhi kebudayaan China yang tidak kalah indah dengan kain batik lainnya. "Melalui tema ini diharapkan apresiasi masyarakat terhadap kain tradisional makin meningkat, terutama untuk kain pesisir," ucap Ike. Karena itu, dalam kegiatan yang dihelat di Nan Xiang Restaurant, Hotel Sultan Jakarta, RPK tidak hanya menampilkan koleksi busana besutan Stephanus Hamy dan Ghea Panggabean, juga mengadakan pameran kain pesisir dan kebaya encim dari Keluarga Damais dan Afif Syakur.
Di mata para desainer, kain pesisir memang memiliki keistimewaan tersendiri. Dibandingkan kain batik lainnya, batik pesisir mempunyai kombinasi warna yang kaya dan lebih membumi. Dalam arti, banyak dikenakan masyarakat. Hal itu juga yang membuat kain pesisir lebih mudah diolah. Seperti pada koleksi milik Stephanus Hamy. Masih menghadirkan tema musafir dari koleksi sebelumnya, Hamy mempersembahkan citra kontemporer dalam sentuhan oriental yang tegas. Kombinasi unik antara aksen pleats, bahan rajut, dan kain batik berwarna cerah menimbulkan efek yang luar biasa cantik, sekaligus etnik. Ragam babydoll tampil manis dengan detail opnaisel. Sementara blus dan jas terlihat dinamis dengan sentuhan era 1950-an ala Jackie-O. Untuk mempercantik koleksinya, Hamy menambahkan detail korsase, pita, dan obi. Sebagai padanannya, Hamy memberikan banyak variasi, mulai hotpants, rok pendek, hingga rok panjang bergaya gipsi. Sementara, mereka yang menyukai gaya feminin tidak ketinggalan dimanjakan Hamy lewat koleksi terusan dan wrapdress yang juga hadir dalam nuansa cerah. Untuk motifnya, kebanyakan Hamy memilih motif floral maupun hewan. Sesekali desainer yang terkenal akan desain eksotisnya ini juga menampilkan kebaya Jawa bercorak lereng. Semua itu ditampilkan dalam ciri khas Hamy, yakni feminin dan penuh lipit. Berbeda dengan Ghea Panggabean yang menampilkan koleksi etnik dalam nuansa yang kental. Menurut desainer berdarah Indo-Belanda ini, koleksinya merupakan perpaduan antara gaya tempo dulu dan inspirasi masa kini. "Saya selalu terinspirasi dari warisan budaya nenek moyang yang beragam, termasuk jenis tekstilnya," ujar desainer kelahiran Rotterdam, Belanda, tahun 1955, ini. Namun, koleksinya ditampilkan lebih modern. Kain batik pesisir dipadukannya dengan kebaya encim antik, baju kurung, baju bodo, dan kebaya khas Padang. Desainer yang dulu bercita-cita menjadi pelukis ini tidak lupa memasukkan kesan Oriental lewat rok bergaris budaya Tionghoa peranakan. (sindo//tty)

Jepa, Makanan Khas Suku Mandar : Lebih Sedap Disantap dengan Sayur Ikan

Tanggal : 2 November 2007
JEPA, makanan pokok suku Mandar tampaknya masih bertahan dikawasan pesisir Kabupaten Kotabaru. Bagi warga suku ini, jepa menggantikan nasi sebagai makanan pokok kebanyakan orang Indonesia.
Meski sudah mendiami kawasan pesisir Kotabaru hingga beberapa generasi, namun makanan pokok jepa masih bertahan.

Kepala Desa Tanjung Kunyit, Kecamatan Pulau Laut Barat Husaini bersama anaknya Syaiful tampak lahap menyantap jepa. Sepuluh biji jepa berbentuk lempengan tipis bundar berdiameter sekitar 20 sentimeter dengan tebal setengah sentimeter terhidang di atas piring.

Syaiful terlihat lahap menyantapnya. Tangannya juga sigap mengambil ikan sayur sebagai lauk jepa. Ya, jepa adalah makanan khas suku Mandar, yang terbuat dari singkong. Untuk membuatnya tidak terlalu rumit.

Singkong yang sudah dikupas kulitnya, ditumbuk sampai halus, kemudian disaring menjadi butiran kecil. Butiran kecil singkong ini dimasak di atas loyang dari tanah. Dimasak menggunakan kayu bakar diyakini masyarakat setempat membuat cita rasa jepa lebih khas.

Memasaknya pun cukup dengan waktu lima menit untuk setiap lempengan. Biasanya warga setempat menyantap jepa untuk sarapan, makan siang maupun makan malam.

"Silahkan makan nasinya saja, karena biasanya kalau orang tidak biasa makan jepa bisa sakit perut," kata Husaini kepada BPost, yang malam itu ikut bersantap dirumahnya.

Bahan baku jepa tidak sulit didapat, karena di pulau Tanjung Kunyit hampir semua warga menanam singkong di kawasan perbukitan.

Sayangnya, saat ini banyak perkebunan singkong yang rusak karena hama monyet. Singkong yang sudah mulai berisi dicongkel dari tanah oleh monyet sehingga rusak. Bahkan monyet di pulau itu tidak hanya menyerang kebun singkong tapi juga kebun kelapa dan pisang.

Setiap sore terlihat aktivitas warga mengupas singkong dan menumbuknya. Hampir semua warga setempat masih memakan jepa sebagai makanan pokok. Bahkan di pulau tersebut ada warga yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia dan setiap hari berbahasa Mandar. dhonny harjo saputro

Peyek Jingking Makanan Khas Pesisir Bantul

Tanggal : 3 Mei 2008
Seorang teman bertanya — Masih ingat dengan peyek jingking? — ya, peyek (rempeyek) makanan khas pesisir pantai Bantul, Yogyakarta. Simbok-simbok penjaja peyek jingking ini banyak ditemui bila anda mengunjungi Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Pantai Depok hingga Pantai Samas.

Soal rasa, pastinya renyah seperti jenis peyek lainnya. Saya sendiri sudah lupa kapan terakhir kali makan peyek jingking. Kalaupun berkunjung ke pantai biasanya sebagai fotografer amatiran, merekam suatu kegiatan seperti Perayaan Melasti yang lalu. Jarang membeli makanan khas pesisir itu, namun aktivitas penjaja peyek jingking tak luput dari bidikan kamera saya.

Lalu, apakah jingking itu? mengutip sebuah artikel :

Jingking adalah jenis binatang (hexapoda) yang hidup di pantai berpasir. Sumber setempat mengatakan bahwa jingking adalah anak kepiting pantai atau bayi kepiting yang besaran tubuhnya baru seukuran kacang hijau. Jadi, ketika binatang ini digoreng dalam adonan peyek wujudnya seperti peyek kacang kedelai.

Sedangkan undur-undur adalah binatang jenis udang-udangan yang juga termasuk hexapoda dengan tubuh sebesar ibu jari. Binatang ini mempunyai kulit punggung yang agak keras seperti kepiting. Namun daging binatang ini gurih dan putih kemerahan seperti daging udah atau kepiting. Rasa daging dari binatang ini juga gurih dan sedikit kenyal (persis daging udang).
Biasanya undur-undur diolah dengan cara dibuat rempeyek, digoreng seperti kacang bawang, atau dioseng-oseng. Undur-undur bisa diolah tanpa tepung karena bentuknya yang relatif besar dibandingkan jingking yang hanya sebesar kacang hijau. Jadi undur-undur bisa digoreng lepas seperti kacang mete atau kacang tanah.
Anda ingin mencoba rasa peyek jingking? Luangkanlah waktu, berwisata ke Pantai selatan Bantul, Yogyakarta.

Minggu, 01 Juni 2008

Rumput Laut Bisa Menjadi Komoditas Unggulan

Tanggal : 30-01-2008
Sumber : http://www.tribunkaltim.com/Bontang/Rumput-Laut

BONTANG, TRIBUN-

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bontang di tahun 2008 diprediksi akan melebihi angka Rp 900 miliar. Dari angka sebesar itu, hanya dua persen yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagian besar berasal dari dana bagi hasil minyak dan gas. Diprediksi 30 tahun mendatang, APBD Bontang akan susut drastis bila tak ada antisipasi sejak dini Bontang pasca-gas.

Tiga puluh tahun lagi, gas yang menjadi bahan baku dua perusahaan besar di Bontang PT Pupuk Kaltim dan PT Badak NGL diprediksi akan habis. Oleh karena itu, sudah seharusnya Bontang mempersiapkan diri agar tak ikut 'habis' pasca-gas.

"Menurut saya, segera Pemkot menyusun program untuk menghadapi Bontang pasca-gas," kata Dimyati Hartono, Pakar Hukum Laut Internasional, yang menjadi pembicara di seminar nasional bertajuk "Quo Vadis Bontang Pasca-Gas?" yang digagas oleh Dewan Pengurus Daerah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Pemkot Bontang di Hotel Ekuator, Selasa (29/1).

Ia menyebut beberapa langkah. "Langkah pertama dengan menginventarisasi potensi apa yang dimiliki Bontang. Kemudian susun sumber daya non-gas yang bisa dijual. Dan eksplorasi potensi tersebut sehingga bisa memiliki nilai jual," ujar Dimyati.

Bambang Setiabudi, Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup, secara terpisah mengimbuhkan, Bontang punya potensi di hasil laut. Untuk pertanian, Bontang relatif sulit, karena terbatasnya lahan.

"Untuk menanam kelapa sawit di sini misalnya, kan tidak ada lahan. Yang ada adalah laut. Perairan Bontang ini lah yang bisa dijadikan potensi kota dan mengganti bila gas habis," ucap Bambang.

Ia menyebut hasil laut seperti ikan dan rumput laut bisa menjadi komoditas unggulan Bontang. "Ajak investor untuk terlibat dalam pengembangan komoditas ini. Libatkan pula PKT dan PT Badak. Ini seharusnya sudah dimulai dari saat ini," kata Bambang yang mengenakan batik ini.

Tentu saja harus disiapkan dulu infrastrukturnya, misalnya pembangunan pabrik pengolah produksi hasil laut. "Tak harus pemerintah, tetapi ajak investor, biar investor yang membangun," katanya. Tak kalah penting adalah sumber daya manusia.

Dimyati dan Bambang mengakui tak mudah mengubah cara berpikir masyarakat. "Cara yang bisa dicoba untuk mengubah cara berpikir masyarakat antara lain dengan memberi contoh. Misalnya, datangkan petani-petani budidaya laut yang sukses ke Bontang untuk memberi pendampingan atau contoh sukses. Bisa juga dengan membawa nelayan ke keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk belajar," tutur Bambang.

Lanjutnya, tentu saja nelayan yang dipilih adalah tokoh yang sekaligus pelaku. "Sehingga ketika dapat ilmu, dia bisa menjadi contoh bagi nelayan yang lain," katanya. Bambang juga mengingatkan, untuk mengeksplorasi hal baru, tak hanya sekadar mendorong tetapi juga yang paling penting ada pasar.

"Maksudnya begini, kita sudah mendorong pertumbuhan usaha rumput laut, tetapi tidak ada pasarnya, ini juga akan membuat jenuh. Jadi program yang dibuat itu harus matang dan komprehensif," ujar Bambang. Dimyati mengimbuhkan sudah saatnya orientasi tak hanya di darat . (art)