Selasa, 26 Desember 2006

IPB Luncurkan 30 Produk Unggulan Melalui Agrimart

Tanggal : 26 Desember 2006
Sumber : http://www.ipb.ac.id/id/?b=222

Kehadiran Agrimart IPB (Institut Pertanian Bogor) bisa menjadi ajang pembuktian bahwa produk-produk unggulan IPB sangat layak untuk dipasarkan. Demikian dikatakan Rektor IPB, Prof.Dr.Ir. H. Ahmad Ansori Mattjik, M.Sc., dalam sambutannya pada Grand Opening Agrimart di Kampus IPB Darmaga, Jumat (22/12).


“Selama ini IPB telah banyak memproduksi beragam produk yang sebenarnya memungkinkan untuk dipasarkan, tapi ternyata belum bisa dipasarkan. Karenanya melalui Agrimart IPB ini, kita mulai belajar bagaimana berdagang. Kita coba buktikan, produk yang kita hasilkan memiliki kualitas dan kuantitas yang pantas untuk dipasarkan. Selain tentunya kita harapkan pula kontinuitas dari produk yang kita hasilkan,” papar Rektor.

Lebih lanjut Rektor menjelaskan, berdirinya Agrimart IPB sejalan dengan konsep ABGC yang dicanangkan IPB, yakni Academician, Businessman, Governance, dan Community. “Tanpa kerjasama empat unsur tadi, kesejahteraan yang kita dambakan sukar untuk diwujudkan,” terangnya seraya menegaskan, Agrimart IPB adalah milik IPB.

Tampak hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Wakil Rektor I Prof.Dr.Ir. M. Achmad Chozin M.Agr., Wakil Rektor III Prof.Dr.Ir. Yusuf Sudo Hadi M.Agr., Kepala LPPM Prof. Dr. Rizal Syarief Sjaiful Nazli, DESS., Direktur SDM&AU Ir. Moh. Yamin, M.Agr. M.Sc., Kepala Kantor Prohumasi drh. Agus Lelana, SpMP, M.Si., Kepala KPSI Ir. Julio Adisantoso, M.Komp., Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Dr. Hardinsyah., dan Kepala Poliklinik IPB, Dr.dr. Hj. Sri Budiarti.

Sementara itu, sedikitnya 30 produk unggulan IPB tersedia di Agrimart IPB. Mulai dari bakso ikan, susu pasteurisasi, nata de coco, air mineral, stik sale pisang, pupuk organik, madu, beras organik, obat herbal, baso sapi dan jamur siap saji.

Di tempat yang sama, Direktur Operasional PT. Indomarco Prismatama, Laurentius Tirta Wijaya mengatakan, berbagai produk unggulan IPB yang saat ini baru bisa diperoleh di Agrimart IPB, ke depan akan mulai dipasarkan di seluruh Indomart di Indonesia yang jumlahnya mencapai 2.300 buah. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk kepedulian PT. Indomarco Prismatama pada dunia pendidikan dan pertanian.

“Agrimart IPB ini tidak saja melengkapi fasilitas kampus, tetapi juga menjadi aset kampus IPB. Dengan harapan tentunya dapat dimanfaatkan oleh civitas kampus dan masyarakat sekitar,” imbuh Laurentius.

Sementara itu, Kepala Kantor Prohumasi IPB drh. Agus Lelana, Sp.MP, M.Si., kepada Pariwara menjelaskan, keberadaan Agrimart merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses implementasi IPB menjadi perguruan tinggi (PT) yang otonom.

”Selain menjadi outlet produk-produk IPB, dalam jangka panjang Agrimart diharapkan menjadi income generating untuk menunjang pendidikan IPB menuju academic excelent. Perlu diketahui, pembuatan produk-produk itu dilakukan oleh unit-unit kerja IPB, seperti Departemen, Pusat ataupun UKM binaan LPPM IPB, yang melibatkan para mahasiswa dan alumni IPB. Karenanya, secara tidak langsung melatih life skil l mahasiswa,” papar Agus, M.Si.

Pada bagian lain, menjelang berakhirnya peresmian Agrimart, belasan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPB melakukan aksi penolakan Agrimart. Menjawab aksi ini, secara terpisah Rektor mengatakan, bahwa dalam masa proses implementasi IPB menjadi PT BHMN, bisa dipahami jika ada perbedaan pendapat.

”Pak Rektor mengatakan, adanya aksi demo mahasiswa adalah hal yang wajar. Karena mungkin mereka belum memahami bahwa IPB memerlukan format Agrimart untuk memasarkan produk-produk IPB dalam rangka menunjang pendidikan,” kata Agus, M.Si., saat mengemukakan kembali penjelasan Rektor pada jumpa pers.

Menyinggung keinginan para peserta aksi agar IPB sebaiknya membina Kopma (Koperasi Mahasiswa), dijelaskan Kepala Kantor Prohumasi, Kopma belum dapat mengikuti ”kecepatan” Agrimart. ”Oleh karena itu, Agrimart perlu dicontoh oleh Kopma yang selama ini juga telah memiliki outlet dan menyediakan beragam produk. Pada akhirnya, diharapkan Kopma bisa menjadi mitra bagi Agrimart,” harap Agus mengakhiri.

Kamis, 30 November 2006

Indonesia Kuasai 31% Pasar Rumput Laut Dunia Pada 2007

Tanggal : 30 November 2006
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000146170.html

Kapanlagi.com
- Indonesia pada 2007 diprediksi menguasai sekitar 31% pangsa pasar rumput laut (Eucheuma dan Gracilaria) dunia.

"Sampai dengan tahun 2010, kontribusi Indonesia akan terus meningkat meski tidak terlalu menonjol. Tahun 2008 diprediksikan kontribusi Indonesia yaitu sekitar 32%, 2009 sekitar 34% dan 2010 sekitar 35%," kata anggota tim rumput laut Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi, Achmad Zatnika usai lokakarya Pengembangan Rumput laut Nasional, di Jakarta, Kamis (30/11).

Sementara untuk produk olahan rumput laut yaitu karaginan, Indonesia mampu menguasai pasar dunia sekitar 13% pada 2007, pada 2008 sekitar 13,7%, 2009 sekitar 14% dan 2010 sekitar 15%.

Achmad mengatakan dengan potensi yang dimiliki Indonesia, seharusnya kontribusi karaginan dan rumput laut nasional di pasar dunia dapat ditingkatkan, namun kendala yang dialami adalah standarisasi mutu dan keterampilan petani rumput laut.

"Karena permintaan rumput laut sebagai bahan baku sangat tinggi, petani tidak lagi mengutamakan mutu rumput laut. Rumput laut yang berkualitas adalah yang dipanen pada usia 45 hari, tetapi akibat permintaan luar biasa dari para pengumpul, mereka memanen lebih awal," katanya.

Ia juga mengatakan kendala yang dihadapi adalah, transfer teknologi yang sulit dan permodalan.

"Penguasaan teknologi kita kurang sehingga yang diperdagangkan petani hanya bahan baku saja dan bukan produk olahan. Adakalanya petani tidak memperhatikan pengolahan rumput laut yang paling dasar yaitu penjemuran dan tidak memperhatikan kemauan pasar," katanya.

Selain itu, petani rumput laut serta usaha mikro, kecil dan menegah (UMKM) masih kesulitan modal. Umumnya mereka tidak memiliki jaminan untuk mengajukan kredit pada bank.

"Jika kita mampu mengatasi masalah-masalah tersebut, maka rumput laut dan produk olahannya dapat menjadi produk unggulan negara kita dan mampu bersaing dengan pasar luar negeri," katanya.

Jumlah keseluruhan lahan potensi rumput laut yaitu sekitar 11.500 hektare.

Sementara itu, Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan, Stafril Fauzi mengatakan volume ekspor rumput laut selama 2000-2004 naik sebesar 19,83% dan perolehan devisa pada 2004 yaitu US$6,2 juta.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2004, volume ekspor rumput laut sekitar 50 ribu ton dengan nilai sekitar US$24,3 juta. Sedangkan ekspor agar pada 2004 yaitu 3 ribu ton dengan nilai sekitar US$6,2 juta dan ekspor alginate yaitu 6,2 kilogram dengan nilai sekitar US$14 ribu.

Negara produksi rumput laut yang menjadi pesaing Indonesia yaitu Filipina, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Eropa, India, Chili dan Madagaskar.

Sabtu, 07 Oktober 2006

Terasi Udang Merah Dipromosikan ke Luar Negeri

Tanggal : 07 Oktober 2006
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=653

BAGANSIAPI-API (RP) ----- Terasi udang merah yang dihasilkan dari industri menengah yang ditangani oleh PT Subur Bahari Mandiri (SBM) yang berlokasi di Rajabejamu, Kecamatan Sinaboi, Kabupaten Rohil, tampaknya terus ditingkatkan. Setelah bisa memenuhi permintaan pasaran di dalam, pihak SBM akan mempromosikan terasi udang merahnya ke luar negara yang dijembatani langsung oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rohil.

Penegasan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rohil, Drs H Herman Tambusai yang ditemui Riau Pos, Kamis (5/10) di ruang kerjanya. ‘’Kita melihat, perkembangan terasi udang merah yang ditangani oleh PT SBM itu, terus mengalami kemajuan. Untuk sekarang ini, pangsa pasarnya baru memenuhi permintaan yang ada di dalam wilayah Indonesia ini,’’ kata Herman Tambusai.

Mengingat memiliki potensi yang cukup prespektif, tambah Herman Tambusai, muncul pemikiran baru untuk mempromosikan potensi kegiatan industri menengah seperti terasi udang merah dari Rajabejamu tersebut ke sejumlah manca negara. Diantaranya adalah negara Thailand dan India. Sehingga, produk Kabupaten Rohil tersebut akan dikenal lebih meluas lagi.

‘’Untuk sampai bisa memasuki pasaran di Thailand dan India inilah yang sedang kita carikan solusinya. Kita punya rencana bahwa terasi udang merah dari kabupaten Rohil ini bisa menembus pangsa pasar yang ada di negara luar itu. Untuk bisa menembus pangsa pasar di luar negara itu, sudah barang tentu segala bentuk persiapaanya harus dilakukan dengan matang,’’ kata Herman Tambusai.

Salah satu diantaranya, tambah Herman Tambusai, terasi udang merah yang disudah dihasilkan oleh PT SBM tersebut harus benar-benar siap saji. ‘’Kalau melihat kondisi yang ada itu, kan belum siap saji. Makanya, kita cuba untuk mengambil berbagai kebijakan sehingga terasi udang merah yang akan dibawa ke luar negara itu benar-benar sudah siap saji. Ini yang sedang kan carikan solusinya,’’ kata Herman Tambusai.

Menjawab Riau Pos, Herman Tambusai secara diplomatis tidak menafikan tentang kabupaten Rohil yang banyak memiliki produk-produk unggulan khususnya dalam bentuk makanan dan minuman baik yang dilakukan oleh kegiatan home industri maupun usaha menengah. Kendati banyak memiliki produk unggulan, namun sayangnya, potensi tersebut belum banyak yang tereksposekan.

‘’Sebenarnya banyak produk unggulan yang siap untuk diangkat ke atas permukaan itu. Hanya saja, ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya untuk mengangkat potensi itu. Untuk itu, kita akan coba menggali semua potensi yang ada kitu. Gilirannya, akan dilakukan pembinaan sehingga mampu memberikan kontribusi kepada daerah maupun lingkungannya,’’ kata Herman Tambusai. (sah)

Selasa, 26 September 2006

Tanggal : 26 September 2006
Sumber : http://banjarkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=208&Itemid=10


Selama puluhan tahun, kampung-kampung di pesisir Sungai Martapura yang berada di Kota Martapura dikenal sebagai penghasil kerajinan
perhiasan. Di antaranya adalah batu akik, yang membawa harum nama Martapura ke mata dunia.


DEWI SETYA AMALIA, Martapura

Siang kemarin, panas memang terasa membakar, sama seperti hari-hari dalam dua minggu terakhir. Sementara di teras rumah yang sempit tepi Sungai Martapura, Kampung Keramat Martapura Timur, tiga pemuda tekun menghadapi peralatan kerjanya masing-masing.

Pemuda yang paling kanan, memegangi bongkah-bongkah batu kecil. Di sisinya terdapat tongkat kayu seukuran pensil. Di dekat tumpukan kayu itu ada ujung selang kecil, yang mengalirkan air dari tempat air ukuran 8 liter di dekat dinding. Di hadapannya terlihat gurinda yang menyala berputar menderu. Pemuda bertubuh gelap ini memotong-motong bongkahan batu akik mentah, dijadikan bulat-bulat, sebelum kemudian ditempelkan di ujung atas dan bawah tongkat kayu.

Begitu selesai, tongkat kayu itu diserahkan pada rekannya yang duduk di bagian tengah menghadap dinding. Ia kebagian tugas melicinkan permukaan batu akik. Tugas melicinkan ini ada dua. Pertama dengan amplas kasar, lalu dilanjutkan lagi dengan amplas yang lebih halus.

Namun dari tiga langkah sebelumnya, langkah kerja yang terakhir adalah yang paling menarik. Potongan batu akik tadi digosokkan ke permukaan kulit bambu. “Ini bagian penting, supaya batu akiknya kelihatan mengkilat,” jelas H Masdar, pemilik rumah.

Benar saja. Batu akik yang sudah digodok bambu, masih di ujung kayu, memang mengkilap halus. Beberapa terlihat bergurat-gurat mengikut serat batunya.

Usaha penggosokan batu akik kerajinan itu belum berumur lama. Dijelaskan pria setengah baya yang ternyata Ketua RT ini, kerajinan yang baru dirintis beberapa tahun lalu itu dikerjakan anaknya. Batu akik mentahnya ia dapatkan dari pendulang di Kecamatan Cempaka Banjarbaru. Dalam jumlah besar, batu akik dipecah dan diolah untuk dijadikan batu akik layak jual.

Menariknya, batu akik yang ia jual tidak bisa dikatakan mahal. H Masdar menjual batu akik hasi produksinya dalam satuan kodi. Per kodinya (20 biji) dilepas dengan harga Rp20 ribu. Atau hanya Rp1.000 per biji.

Soal pemasaran, ia tidak pernah ambil pusing. Seperti juga pengrajin perhiasan lainnya yang berada di kampungnya, hasil produksi mereka siap diserap oleh pasar perhiasan di Pasar Martapura. Lebih dari itu pasar perhiasan dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah pun siap menyerap hasilnya.(bersambung) Radar Banjarmasin

Sabtu, 01 April 2006

Kulit Kakap, dari Limbah Jadi Indah

Tanggal : 01 April 2006
Sumber : http://majalah-handicraft.jogja.com/?UncgL0ZlWjNWRi9JblVkUmhOIHk%3D=



Sejak sekian lama pabrik fillet yang berbahan baku ikan kakap dan kerapu itu. Menyisakan limbah kulit. Ternyata kemudian diyakini, limbah tersebut bisa diolah menjadi barang kerajinan nan indah dan bernilai jual tinggi.

Adalah Ir. Susilowati, Msi dari Balai Besar Kulit Karet dan Plastik (BBKKP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang awalnya sering mendengar keluhan perajin menyangkut kian mahalnya bahan baku kulit kambing, domba dan sapi. Ia bersama timnya kemudian meneliti tentang kemungkinan pemanfaatan limbah kulit ikan kakap dan kerapu yang dihasilkan oleh pabrik fillet di Probolinggo, Jatim.


Dari hasil penelitian cukup melelahkan itu, Susilowati lega dan gembira karena akhirnya berani memastikan bahwa limbah kulit kakap dan kerapu bisa disulap menjadi barang-barang kerajinan, semisal tas, sepatu, dompet, ikat pinggang dan sejenisnya. Ia telah membuktikan hal itu, bahkan langsung dilirik oleh orang-orang Jepang. Tim dari institusi yang sering disebut sebagai Balai Kulit itu terdiri dari Ir. Susilowati, Ir.Widari, Kasmin Nainggolan BSc dan Thomas Tukirin.


“BBKKP selalu berusaha mencari terobosan di bidang kerajinan kulit. Untuk itu kami berusaha mencari berbagai alternatif kulit. Setelah kami teliti saksama, ternyata limbah kulit ikan kakap dan kerapu sangat bagus untuk kerajinan,” ujar Kepala BBKKP DIY, Ir. Sardjono. Dikatakannya, setelah melalui proses penyamakan dengan finish tipe plate dan nonplate, kulit limbah di pabrik fillet Probolinggo itu, menunjukkan indikasi kuat tarik, kuat jahit dan tahan sobek.


Dari pameran yang sudah beberapa kali digelar, ternyata kerajinan kulit ikan mempunyai prospek yang menjanjikan untuk dikembangkan. Komoditi ekspor dari hasil penangkapan ikan laut di Indonesia tahun 2000 antara lain berupa ikan kerapu 48.422 ton, ikan kakap 68.788 ton dan ikan pari 45.260 ton. Kulit ikan kakap dan kerapu sekarang ini belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan menjadi masalah karena limbahnya mengakibatkan pencemaran. Padahal, sebenarnya kulit ikan itu dapat diolah menjadi kulit tersamak dan dimanfaatkan sebagai bahan baku sepatu, tas, dompet, ikat pinggang dan sejenisnya.


“Dalam proses penyamakan, kulit ikan laut sangat berbeda dibanding kulit konvensional seperti sapi, domba dan kambing,” kata Ir. Susilowati, Msi yang baru pulang dari haji, ketika ditemui Handicraft Indonesia secara terpisah. Kini, setelah meyakini kulit ikan kakap dan kerapu bisa diolah sedemikian rupa, ia berharap pada gilirannya perajin kecil memperoleh alternatif lain dalam menggeluti usahanya.


“Laut Indonesia kan kaya akan ikan. Pada dasarnya semua jenis kulit ikan bisa disamak. Kami mengambil contoh limbah kulit ikan dari Ambon dan dari Probolinggo kami menemukan kakap dan kerapu,” ujarnya. Masih menurut Susilowati, ikan kakap dan kerapu yang tidak dilindungi itu, sangat mudah dipesan. Gubernur Maluku, tambahnya, bahkan telah minta beberapa contoh kerajinan dari kulit ikan kakap dan kerapu. “Ambon terbilang surplus kakap dan kerapu. Pemda setempat berusaha membudidayakan limbah kulit ikan tersebut,” lanjutnya.

Adopsi desain
Harga kulit ikan kakap dan kerapu ternyata menjadi cukup mahal. Yang sudah disamak dan memiliki ukuran lebar antara 12 –15 cm harganya mencapai sekitar Rp 25.000,-. Berkat sentuhan perajin handal dan profesional dari Tanggulangin, Sidoharjo, Jatim atau Semarang misalnya, kulit dimaksud hampir pasti bisa menjadi produk kerajinan tas atau sepatu yang tak kalah indah dan menariknya


.”Dua daerah ini kan dikenal sebagai gudang perajin yang mampu menghasilkan produk unggulan,” kata Susilowati lagi. Setelah jadi tas dan sepatu, harga jual bisa mencapai Rp150.000,- hingga Rp 300.000,-. “Apalagi kulitnmya yang dhiwud-dhiwud banyak disukai orang Jepang dan Thailand,” tambahnya.


Untuk menentukan desain warna sepatu, tas, dompet dan ikat pinggang dari kulit ikan, Susilowati membolak-balik pustaka. Saat ini belum ada produk sepatu dan barang kulit ikan sebagai parameter. Maka dasar penentuan desain dan warna dilakukan dengan mengadopsi desain dan warna yang ada pada buku-buku pustaka. “Dari 40 model kami pilih 10 desain sepatu wanita, lima sepatu pria, dan 10 desain tas wanita,” ungkapnya lagi.


Dilukiskannya, pengerjaan sepatu wanita tidak mengalami hambatan. Pemotongan dan perakitan serta penggabungan antara kulit ikan dan kulit sapi sebagai kombinasi bisa dilakukan dengan mudah. Yang memerlukan kecermatan ekstra adalah proses penjahitan, terutama akibat ketidakrataan ketebalan kulit. Pembuatan sepatu pria memang sedikit lebih sulit.


“Namun, terlepas dari kesulitan, ternyata kulit ikan tersamak dengan kombinasi kulit sapi dalam warna senada, dapat menampilkan kesan eksklusif dan menarik” kata Susilowati di akhir penjelasan. Nah, kenapa kulit kakap dan kerapu dibuang percuma. Kenapa tidak dibudidayakan? ■ teguh r asmara – foto: affan

Rabu, 15 Maret 2006

BANTEN, SENTRA BUDIDAYA KEKERANGAN DI INDONESIA

Tanggal : 15 Maret 2006
Sumber : http://www.madani-ri.com/2006/03/15/banten-sentra-budidaya-kekerangan-di-indonesia/


Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menetapkan Provinsi Banten sebagai sentra budidaya kekerangan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung, lokasi yang ditetapkan untuk pengembangan budidaya kekerangan di … Perairan Panimbang Kabupaten Pandeglang seluas 2.316,5 hektare.

Salah satu jenis kekerangan yang cocok dibudidayakan di Perairan Panimbang adalah Kerang Hijau. Hal ini dibuktikan bahwa telah tersedia benih alami kerang hijau di perairan ini, yang menandakan petunjuk bahwa kondisi ekologis di perairan tersebut sesuai untuk budidaya kerang hijau (Perna Viridis).

Sebelumnya budidaya kerang hijau banyak dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta dan Pantai Utara Tangerang, namun kedua wilayah perairan ini dikhawatirkan tercemar limbah logam berat (Hg, Pb, Cd, dll) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Melihat hal tersebut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan memberikan kebijakan untuk membatasi budidaya kerang hijau di Teluk Jakarta dan Pantai Utara Tangerang serta mengalihkannya ke Perairan Panimbang Kabupaten Pandeglang.

Secara ekonomi, budidaya kerang hijau dinilai sangat menguntungkan. Bagaimana tidak, 1 Bagan Tancap yang berukuran 25 x 10 m2 mempunyai potensi produksi sekitar 20 - 28 ton kerang hijau dengan nilai jual bisa mencapai Rp. 14.000.000 (asumsi harga per kilo Rp.500). Berdasarkan perhitungan untuk memulai usaha budidaya diperlukan modal awal sebesar Rp. 6.500.000,- (untuk pembuatan bagan tancap) serta biaya produksi sekitar Rp.2.000.000,- dengan masa panen rata - rata 6 bulan.

Dilihat dari aspek teknologi, budidaya kerang hijau termasuk komoditi perikanan yang mudah dibudidayakan. Pembudidaya cukup membuat bagan tancap dan membuat tali - tali gantungan sebagai pengumpul spat (benih kerang). Dari tali kolektor (pengumpul spat) ini selanjutnya akan tumbuh kerang hijau sampai siap dipanen selama 6 bulan. Lokasi budidaya kerang hijau disarankan di perairan yang relatif tenang (tidak terbuka), sehingga dapat menghindari ombak besar yang dapat merusak sarana produksi.

Pada panen raya kerang hijau di Panmbang pada (10/12) lalu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Dr. I Made L Nurdjana menyatakan puas atas hasil panen yang dihasilkan pembudidaya kerang hijau di Panimbang ini. Bahkan I Made mengatakan bahwa Banten layak dijadikan unggulan untuk mengembangkan komoditas perikanan budidaya bertaraf internasional.

“Saya akan membantu mendorong budidaya Lobster dan Kerang Abalone di Perairan Banten,” katanya.

Panen raya kerang hijau tersebut dihadiri Plt. Gubernur Banten Rt. Atut Chosiyah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Ir. H. Ubaidillah AS, Anggota DPRD Provinsi Banten, Ketua DPRD Kabupaten Pandeglang, Kepala DKP Kabupaten Pandeglang, jajaran Kepala DKP se - Pulau Jawa dan Lampung serta pejabat terkait lainnya.

Pada kesempatan itu juga diberikan bantuan dana secara simbolis dari Pemerintah Provinsi Banten sebesar Rp. 1,4 Milyar untuk pembelian kapal nelayan dan alat detektor bagi 7 kelompok serta dari Pemerintah Pusat melalui APBN sebesar Rp. 1,2 Milyar bagi 15 kelompok nelayan pembudidaya ikan dan rumput laut.

Plt. Gubernur Banten dalam sambutannya mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Banten sedang menggalakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

“Dalam hal pengembangan budidaya kita melakukan pengembangan kawasan budidaya laut, tawar dan payau di seluruh wilayah Provinsi Banten, ” kata Atut.

Kepala DKP Provinsi Banten, Ir. H. Ubaidillah AS sampai saat ini terdapat 208 unit bagan tancap di Perairan Panimbang dengan kapasitas produksi sebesar 3.120 ton. Luas areal yang dipergunakan sekitar 15 hektare (baru sekitar 0,65 % dari seluruh lahan budidaya kekerangan yang dipersiapkan).

“Melihat permintaan pasar yang cukup tinggi serta nilai jualnya yang lumayan, saya yakin kerang hijau di Panimbang dapat dijadikan sumber ekonomi bagi masyarakat,” katanya sambil mengungkapkan bahwa sampai saat ini permintaan pasar kerang hijau di Jakarta mencapai 100 ton / hari.

Jenis - jenis Kekerangan yang bisa dibudidayakan
1. Kerang Darah (Anadara granosa)
2. Kerang Hijau (Perna Viridis)
3. Kerang Mutiara (Pinctada maxima)
4. Kerang Abalone (Haliotis asinina)

Kamis, 12 Januari 2006

IPB Kerjasama CV. Dinar, Produksi Chitosan Pengganti Formalin

Tanggal : 12 Januari 2006
Sumber : http://www.ipb.ac.id/id/?b=12

Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan CV.Dinar memproduksi chitosan sebagai bahan pengawet pengganti formalin. Saa ini CV.Dinar baru bisa memproduksi chitosan dengan kapasitas antara 100-300 kg/hari. Nantinya chitosan akan dipasarkan dalam bentuk larutan bukan serbuk. “Produksi ini masih bisa ditingkatkan sesuai kebutuhan dan ketersediaan bahan baku berupa limbah ranjungan atau kerang,” ujar drh. R. Dody Timur Wahjuadi Pemilik CV. Dinar Jakarta Kamis (12/1) di Kosambi, Tangerang.

Doddy mengatakan dengan pemakaian antara 1.5 % -2 % larutan pengawet chitosan yang dapat disediakan sekitar 15.000 liter/hari yang siap digunakan untuk bahan pengawet bakso, mie basah dan ikan asin. Proses pembuatan chitosan melalui beberapa tahapan yakni pengeringan bahan baku mentah chitosan (ranjungan), pengilingan, penyaringan, deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi (penghilangan mineral Ca), pencucian, deasilitilisasi, pengeringan dan akhirnya terbentuklah produk akhir berupa chitosan.

Dari hasil pertemuan dengan Menteri Kesehatan, hari Rabu (11/1) di Kantor Departemen Kesehatan, Menkes mengatakan akan menyiapkan legalitas penggunaan bahan alami pengganti formalin dan dalam waktu dekat produk chitosan akan dilaunching. Selain chitosan, sejak tahun 2003 CV. Dinar bekerjasama dengan IPB telah menghasilkan produk olahan rumput laut yang disebut karagenan. “Keragenan adalah bahan alami pembentuk gel yang dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso dan mie basah sebagai bahan alternatif yang aman pengganti borax,” jelas Dr Linawati Hardjito, dari Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Karagenan membuat mie basah dan bakso kenyal. Karagenan dihasilkan dari rumput laut Euchema sp yang telah dibudidayakan di berbagai perairan Indonesia.

Setiap 1 kilogram bakso dibutuhkan 0.5-1.5 gram karagenan untuk mengenyalkannya. Di pasaran 0.5-1.5 gram karagenan dijual dengan harga Rp 750 – Rp 900,-. ”Karagenan dalam industri sering dijadikan bahan campuran kosmetik, obat-obatan, es krim, susu, kue, roti dan berbagai produk makanan,”tutur Linawati.

Pengembangan obat dari laut menjadi salah satu produk unggulan kerjasama IPB-CV. Dinar. Berbagai bahan obat dan suplemen (nutraceutical) yang sedang dikembangkan adalah antimikroba (pengawet), antipenuaan, antitumor/antikanker, antikolesterol, bahan kosmetik (tabir surya, pewarna alami). Untuk pengembangan produk tersebut IPB menjalin kerjasama dengan Virnginia Polytechnic Institute & State University, USA khususnya untuk penentuan struktur kimia bahan obat/suplemen. Kerjasama ini berlangsung dari 2003 hingga 2008.

Linawati mengharapkan komersialisasi chitosan dan karagenan sebagai pengganti formalin dan borax dapat meningkatkan kontribusi CV. Dinar dan IPB dalam meningkatkan perekonomian nelayan serta mencerdaskan putra-putri mereka. ”Dalam penyediaan bahan baku IPB dan CV Dinar melibatkan ratusan nelayan yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia,” imbuhnya. (ris)