Jumat, 18 Juni 2010

Produk Unggulan Kota Baru Terpinggirkan

Tanggal : 10 Juni 2008
KOTABARU, BPOST- Lapangan Siring Laut lokasi tempat digelarnya pameran Expo 2008 yang diisi beberapa dinas, kantor, badan, dan perusahaan-perusahaan serta usaha kecil mandiri (UKM) home industri, lebih menonjolkan produk-produk dari luar.
"Seharusnya pagelaran expo seperti ini yang lebih ditonjolkan produk unggulan Kotabaru, bukan produk dari luar. Agar produk Kotabaru yang selama ini belum diketahui lebih kenal orang. Tapi malah mobil dan kendaraan yang lebih ditonjolkan," ucap Uncui masyarakat Kotabaru, kepada Bpost Online.

Menurutnya, pameran yang lebih menonjolkan produksitas luar itu hampir semuanya menguasi lokasi stan setrategis dan luas. Sementara beberapa peserta dari kecamatan dan UKM/home industri memperkenalkan produk unggulan Kotabaru hanya menempati stan paling pojok.

Karenanya produk unggulan tersebut seperti, kerupuk udang/ikan, amplang udang/ikan, dan produk-produk pertanian seperti beras dan produk unggulan lainya hampr tidak diketahui pengujung yang terpokus dengan produksitas dari luar, karena pengunjung banyak tidak mengetahui stan yang menampilkan produk Kotabaru.
Hal itu juga diakui seorang pengunjung mengatakan, seharusnya produk unggulan yang lebih ditonjolkan bukan produk dari luar. "Buat apa Kotabaru punya produk unggulan rumahan UKM dan home industri kalau tidak diperkenalkan kepada pengunjung," katanya.

Senin, 03 November 2008

DKP DAN KORSEL JAJAKI KEMBANGKAN BIODISEL DARI RUMPUT LAUT

Tanggal: 3 November 2008
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed.
Rumput laut sebagai sumber alternatif energi merupakan hal baru yang harus didukung dan dikembangkan. Mikro alga sebagai biodisel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjajaki kerjasama dengan Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) sebelum mengikuti the 2nd International Bionergy Forum di Seoul, Korea Selatan (30/10).

Kerjasama ini mempertemukan kebutuhan dan potensi dua pihak yang saling menguntungkan. Korea Selatan telah memiliki teknologi untuk memanfaatkan rumput laut sebagai sumber energi, lengkap dengan grand strategy, road map, model dan kegiatannya. Hal ini dipicu oleh kebutuhan yang sangat besar tentang energi, tapi tidak didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam di negerinya. Bahan untuk kebutuhan rumput laut tentu memiliki keterbatasan. Dilain pihak, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pantai yang panjang serta iklim yang hangat sepanjang tahun menyediakan potensi yang besar untuk menyediakan rumput laut sebagai bahan pembuatan bio-energi. Hanya saja, teknologi untuk itu belum dimiliki sehingga membutuhkan mitra untuk saling meraih keuntungan, jangka menengah dan jangka panjang.

Paradigma melihat bahan bakar energi energi sebetulnya dapat dilihat dari perubahan berganti-ganti melalui lima paradigma. Pada awal 1940, negara besar berupaya memperoleh wilayah yang kaya minyak. Termasuk Jepang yang mengincar Asia Tenggara, sehingga menyulut perang dunia di Asia Pasifik dengan Amerika dan sekutunya. Periode kedua, adalah pada saat terjadi perang teluk tahun 1970-an. Krisis minyak terjadi, harganya melonjak tinggi tapi dengan penemuan teknologi baru dan perdamaian dapat diwujudkan, harga minyak mulai normal. Selanjutnya pada tahun 1990-an, masyarakat dunia mulai menyadari adanya ancaman pemanasan bumi (global warning). Kebutuhan terhadap sumber energi yang bersih dibutuhkan, maka diberbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi banyak berlomba menemukan clean technology (teknologi yang bersih). Saat ini, yaitu mulai tahun 2000-an, saatnya masyarakat menggunakan paradigma kelima, yakni mulai menerapkan teknologi biomassa yang terbarukan dan berkelanjutan (renewable and sustainable technology). Dan ini termasuk bioenergi dari rumput laut.

Kerjasama yang akan dikembangkan oleh DKP dan KITECH adalah penelitian, pengembangan serta penerapan bio-teknologi kelautan dan pembangunan lingkungan, dengan ruang lingkup kerjasama meliputi: pengembangan bio-teknologi kelautan dan lingkungan, pertukaran data dan informasi, pertukaran pakar dan peneliti, melibatkan para peneliti dalam workshop dan penelitian bersama, pengembangan budidaya dan pasca panen perikanan, membangun kapasitas sumberdaya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan, mengembangkan pemanfaatan spesies alga yang lebih luas dan metode budidayanya, penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan metode budidaya, alih teknologi dalam pengembangan teknologi baru budidaya rumput laut, pembangunan fasilitas produksi baru, dan kenyamanan dalam pemeliharaan dalam budidaya rumput laut.

Pemanfaatan alga sebagai biodisel sebetulnya menjawab pertentangan dua kutub dalam memanfaatkan biodisel yang berasal dari tanaman daratan, yaitu kutub yang berorietasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan kutub yang cenderung mengkonversi lahan untuk bahan baku biodisel dari tanaman sebagai energi terbarukan. Keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan lahan daratan.

Rumput laut pantas menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna, karena beberapa keunggulannya, antara lain: peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut; teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus pembudidayaannya relatif singkat yakni hanya 45 hari, sehingga cepat memberikan keuntungan; kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Kegunaan rumput laut sangat luas, dan dekat sekali dengan kehidupan manusia.

Saat ini sumber energi dunia masih didominasi oleh sumber yang tidak terbarukan (minyak, batubara dan gas), yakni sekitar 80,1%, dimana masing-masing adalah minyak sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan gas 20,44%. Sumber energi terbarukan, tapi mengandung resiko tinggi adalah energi nuklir sekitar 6,3%. Sumber energi yang terbarukan baru sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional sekitar 8,5%. Yang tergolong terbarukan disini termasuk tenaga surya, angin, tenaga air, panas bumi dan bio-energi. Keuntungan penerapan bionergi sudah jelas, yakni: (1) terbarukan dan berkelanjutan, (2) bersih dan efisien, (3) netral dari unsur karbon, malah bisa berdampak negatif terhadap karbon, (4) dapat menggantikan bahan bakar minyak untuk transportasi, (5) mengurangi pemanasan global (global warning) dan pencemaran udara, pencemaran air, dan (6) menjawab ketergantungan pada energi yang tak terbarukan.

Rabu, 29 Oktober 2008

Indonesia Penghasil Rumput Laut Terbesar

Tanggal: 29 Oktober 2008
ANTARA
MAKASSAR -- Indonesia sejak 2005 menjadi penghasil terbesar rumput laut jenis euchema dan gracilaria, karena produksi komoditi tersebut trennya terus meningkat. "Indonesia telah jadi nomor satu penghasil rumput laut, dan trennya akan terus meningkat," kata pakar rumput laut Kanada Dr Ian C Neish dalam Forum Rumput Laut Indonesia di Makassar, Rabu.Neish mengatakan, dari 1,2 juta ton rumput laut kering yang dihasilkan secara global per tahun, sebesar 50 persen dari Indonesia dan 35 persen dari Filipina. "Saat ini produksi rumput laut Indonesia terus meningkat, sementara Filipina terus menurun," kata pakar yang baru saja mendapat penghargaan dari Masyarakat Rumput Laut Indonesia karena perannya memperkenalkan rumput laut Indonesia ke masyarakat internasional.Melihat luasnya kawasan laut Indonesia yang bisa ditanami rumput laut, maka tren peningkatan produksi rumput laut itu bisa terus ditingkatkan karena pasar dunia masih terbuka. Neish juga memperkenalkan tiga kunci bagi inovasi pengembangan tanaman yang menjadi bahan baku berbagai produk makanan dan farmasi tersebut.Menurut dia, yang pertama perlu dilakukan ialah mencari kultiva atau jenis baru, karena sekarang ini juga ditemukan jenis baru yang menjanjikan dan pasti ada jenis lain. Yang kedua, Indonesia perlu segera memperbanyak ragam proses untuk mengolah rumput laut, baik dalam bentuk padat, kering, dan cair. Ketiga, menjadikan pengembangan rumput laut dalam satu kawasan pengembangan akuakultur.Forum Rumput Laut Indonesia, yang berlangsung pada 28-29 Oktober, merupakan ajang pertukaran informasi mengenai rumput laut yang diikuti sejumlah peneliti dan dari sejumlah negara. ant/is

DKP DORONG RUMPUT LAUT SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN ENERGI

Tanggal: 29 Oktober 2008
Sumber: MUKHTAR A,Pi
Rumput laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha (20% dari luas areal potensial). Jenis rumput laut yang banyak diminati pasar adalah jenis Euchema spinosum, Euchema cottonii dan Gracilaria sp. Selain sebagai sumber pangan, berdasarkan hasil penelitian rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, yaitu sebagai bahan untuk biofuel. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada pembukaan Seaweed International Business Forum and Exhibition Kedua di Makassar, Sulawesi Selatan (28/10/08).

Keberadaan rumput laut sebagai sumber alternatif energi merupakan hal baru yang harus didukung dan dikembangkan. Mikro alga sebagai biodisel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. Dimana, 1 ha lahan mikro alga dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya atau jauh lebih besar dibandingkan jagung (172 liter/tahun) dan kelapa sawit (5.900 liter/tahun) . Selain itu, mikro alga juga tidak dihadapkan pada masalah baru pada saat didorong sebagai sumber energi karena rumput laut tidak dikonsumsi setiap hari, dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, selain sebagai sumber pangan keberadaan rumput laut sebagai sumber energi dan industri kosmetik harus terus dipromosikan.

Rumput laut pantas menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna, karena beberapa keunggulannya, antara lain: peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut; teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan; kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Kegunaan rumput laut sangat luas, dan dekat sekali dengan kehidupan manusia.

Produksi rumput laut secara nasional pada tahun 2005 mencapai 910.636 ton, dan meningkat menjadi 1.079.850 ton pada tahun 2006. Angka ini merupakan angka yang cukup signifikan dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, yakni 933,000 ton untuk sasaran tahun 2005, dan 1.120.000 ton sasaran pada tahun 2006. Dalam program revitalisasi perikanan budidaya sasaran produksi rumput laut pada tahun 2009 adalah sebesar 1.900.000 ton. Oleh karenanya, strategi pencapaiannya ditempuh melalui pola pengembangan kawasan dengan komoditas Euchema sp. dan Gracilaria sp. Luas lahan pengembangan yang diperlukan sampai tahun 2009 adalah sekitar 25.000 ha, dimana seluas 10.000 ha untuk Gracilaria sp., dan 15.000 ha untuk Euchema sp.

Pengembangan komoditas rumput laut memerlukan investasi dan modal kerja sebesar Rp.70.984 juta per ha-nya dengan rincian Rp. 2.774 juta untuk Gracilaria sp., dan Rp. 68.210 juta untuk Euchema sp. Untuk penyediaan bibit maka akan dilakukan pengembangan kebun bibit di sentra-sentra/ pusat pengembangan kawasan, yakni di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku dan Papua. Disamping itu akan dilakukan pengaturan pola tanam serta perbaikan mutu pasca panen dengan penyediaan mesin pre processing yang diperkirakan mencapai 150 unit. Dengan pengembangan tersebut diperkirakan akan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 255.000 orang.

Berpijak pada kondisi inilah, DKP mengajak beberapa negara untuk berinvestasi dalam bisnis rumput laut. Selain itu, kehadiran para narasumber dari beberapa negara tersebut diharapkan dapat menciptakan alih teknologi pengolahan rumput laut. Kedepan Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah rumput laut, tetapi menjadi negara terbesar ekspor hasil olahan rumput laut. Kegiatan Seaweed International Business Forum and Exhibition juga diharapkan dapat menjadi jembatan dalam rangka meningkatkan investasi bisnis rumput laut di Indonesia, meningkatkan penguasaan teknologi budidaya dan pengolahan rumput laut untuk memproduksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, meningkatkan kerjasama dan networking antar pelaku bisnis, meningkatkan ekspor produk rumput laut Indonesia serta memperlihatkan eksistensi Indonesia pada percaturan rumput laut dunia.

Rabu, 22 Oktober 2008

Ikan Maluku Diekspor Melalui Bali

Tanggal: 22 Oktober 2008
Ambon - Teryata selama ini, ikan-ikan yang diekspor dari Bali dipasok dari Maluku. Ungkapkan kekesalan ini nampak pada raut wajah Gubernur Maluku, Karel Alberth Ralahalu. Betapa tidak, selama ini Maluku sebagai provinsi penghasil ikan terbesar di Indonesia, hanya bisa menjadi pengekspor lokal."Ternyata semua ikan di Maluku di kumpul di Bali, baru kemudian di ekspor ke seluruh dunia. Ini kan aneh,” ujar Ralahalu, kepada wartawan di kantor Gubernur Maluku, Rabu (22/10/2008).Sebagai pusat ikan, kondisi ekspor yang dilakukan saat ini, merupakan masalah serius yang mesti dibenahi segera. "Kita akan membenahi persoalan ekspor ikan ini. Jika tidak, sangat merugikan Maluku," tandasnya.Saat ini, Pemda Maluku sedang tengah menjajaki kerjasama dengan Jepang. "Kami di undang duta besar Jepang untuk Indonesia guna membicarakan persoalan pembangunan perikanan di Maluku, termasuk sumberdaya manusianya," ungkap Gubernur.Dikatakan, Jepang dulunya disebut sebagai negara bahari dan penangkap ikan terbesar di dunia. "Kondisinya sekarang sudah terbalik. Saat ini Jepang yang menguasai manajemen pemasaran hasil-hasil perikanan di seluruh dunia, termasuk Indonesia," papar Ralahalu.Saat berkunjung ke Jepang beberapa waktu lalu, pihaknya mengaku bingung. "Harga ikan di Indonesia apalagi Maluku, sangat jauh dibanding dengan harga ikan di Jepang. Ikan di sana paling mahal," ungkapnya lagi.(han/djo)

Senin, 09 Juni 2008

Pesona Kain Pesisir

Tanggal : 8 april 2008
Pesona Kain Pesisir KAIN tradisional Indonesia tengah berjaya. Para desainer kini merancang kain tradisional menjadi busana kontemporer agar lebih mudah menjangkau masyarakat. Salah satu organisasi yang tak lelah mencuatkan kain tradisional adalah organisasi Rumah Pesona Kain (RPK). Setelah sukses menggelar pameran dan pergelaran busana bermateri kain nasional, RPK kembali menyelenggarakan kegiatan serupa. Namun, kali ini mereka mencoba memberi pendekatan yang berbeda dengan menghadirkan kain pesisir sebagai bintang utama. Bertajuk "The Enchanting Chinese Influences in Indonesian Textiles", pergelaran tersebut juga bertujuan untuk memeriahkan tahun baru Imlek 2008. Ketua RPK Ike Nirwan Bakrie mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan organisasinya tersebut didasari keinginan untuk terus melestarikan kain Nusantara dan meningkatkan apresiasi masyarakat atas kain tradisional. "Menyemarakkan tahun baru Imlek 2008, kami sengaja mengangkat pesona kain pesisir," sebutnya. Ike mengatakan, kain pesisir dipilih karena banyak dipengaruhi kebudayaan China yang tidak kalah indah dengan kain batik lainnya. "Melalui tema ini diharapkan apresiasi masyarakat terhadap kain tradisional makin meningkat, terutama untuk kain pesisir," ucap Ike. Karena itu, dalam kegiatan yang dihelat di Nan Xiang Restaurant, Hotel Sultan Jakarta, RPK tidak hanya menampilkan koleksi busana besutan Stephanus Hamy dan Ghea Panggabean, juga mengadakan pameran kain pesisir dan kebaya encim dari Keluarga Damais dan Afif Syakur.
Di mata para desainer, kain pesisir memang memiliki keistimewaan tersendiri. Dibandingkan kain batik lainnya, batik pesisir mempunyai kombinasi warna yang kaya dan lebih membumi. Dalam arti, banyak dikenakan masyarakat. Hal itu juga yang membuat kain pesisir lebih mudah diolah. Seperti pada koleksi milik Stephanus Hamy. Masih menghadirkan tema musafir dari koleksi sebelumnya, Hamy mempersembahkan citra kontemporer dalam sentuhan oriental yang tegas. Kombinasi unik antara aksen pleats, bahan rajut, dan kain batik berwarna cerah menimbulkan efek yang luar biasa cantik, sekaligus etnik. Ragam babydoll tampil manis dengan detail opnaisel. Sementara blus dan jas terlihat dinamis dengan sentuhan era 1950-an ala Jackie-O. Untuk mempercantik koleksinya, Hamy menambahkan detail korsase, pita, dan obi. Sebagai padanannya, Hamy memberikan banyak variasi, mulai hotpants, rok pendek, hingga rok panjang bergaya gipsi. Sementara, mereka yang menyukai gaya feminin tidak ketinggalan dimanjakan Hamy lewat koleksi terusan dan wrapdress yang juga hadir dalam nuansa cerah. Untuk motifnya, kebanyakan Hamy memilih motif floral maupun hewan. Sesekali desainer yang terkenal akan desain eksotisnya ini juga menampilkan kebaya Jawa bercorak lereng. Semua itu ditampilkan dalam ciri khas Hamy, yakni feminin dan penuh lipit. Berbeda dengan Ghea Panggabean yang menampilkan koleksi etnik dalam nuansa yang kental. Menurut desainer berdarah Indo-Belanda ini, koleksinya merupakan perpaduan antara gaya tempo dulu dan inspirasi masa kini. "Saya selalu terinspirasi dari warisan budaya nenek moyang yang beragam, termasuk jenis tekstilnya," ujar desainer kelahiran Rotterdam, Belanda, tahun 1955, ini. Namun, koleksinya ditampilkan lebih modern. Kain batik pesisir dipadukannya dengan kebaya encim antik, baju kurung, baju bodo, dan kebaya khas Padang. Desainer yang dulu bercita-cita menjadi pelukis ini tidak lupa memasukkan kesan Oriental lewat rok bergaris budaya Tionghoa peranakan. (sindo//tty)

Jepa, Makanan Khas Suku Mandar : Lebih Sedap Disantap dengan Sayur Ikan

Tanggal : 2 November 2007
JEPA, makanan pokok suku Mandar tampaknya masih bertahan dikawasan pesisir Kabupaten Kotabaru. Bagi warga suku ini, jepa menggantikan nasi sebagai makanan pokok kebanyakan orang Indonesia.
Meski sudah mendiami kawasan pesisir Kotabaru hingga beberapa generasi, namun makanan pokok jepa masih bertahan.

Kepala Desa Tanjung Kunyit, Kecamatan Pulau Laut Barat Husaini bersama anaknya Syaiful tampak lahap menyantap jepa. Sepuluh biji jepa berbentuk lempengan tipis bundar berdiameter sekitar 20 sentimeter dengan tebal setengah sentimeter terhidang di atas piring.

Syaiful terlihat lahap menyantapnya. Tangannya juga sigap mengambil ikan sayur sebagai lauk jepa. Ya, jepa adalah makanan khas suku Mandar, yang terbuat dari singkong. Untuk membuatnya tidak terlalu rumit.

Singkong yang sudah dikupas kulitnya, ditumbuk sampai halus, kemudian disaring menjadi butiran kecil. Butiran kecil singkong ini dimasak di atas loyang dari tanah. Dimasak menggunakan kayu bakar diyakini masyarakat setempat membuat cita rasa jepa lebih khas.

Memasaknya pun cukup dengan waktu lima menit untuk setiap lempengan. Biasanya warga setempat menyantap jepa untuk sarapan, makan siang maupun makan malam.

"Silahkan makan nasinya saja, karena biasanya kalau orang tidak biasa makan jepa bisa sakit perut," kata Husaini kepada BPost, yang malam itu ikut bersantap dirumahnya.

Bahan baku jepa tidak sulit didapat, karena di pulau Tanjung Kunyit hampir semua warga menanam singkong di kawasan perbukitan.

Sayangnya, saat ini banyak perkebunan singkong yang rusak karena hama monyet. Singkong yang sudah mulai berisi dicongkel dari tanah oleh monyet sehingga rusak. Bahkan monyet di pulau itu tidak hanya menyerang kebun singkong tapi juga kebun kelapa dan pisang.

Setiap sore terlihat aktivitas warga mengupas singkong dan menumbuknya. Hampir semua warga setempat masih memakan jepa sebagai makanan pokok. Bahkan di pulau tersebut ada warga yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia dan setiap hari berbahasa Mandar. dhonny harjo saputro