Minggu, 25 November 2007

Pewarna dari Rumput Laut

Tanggal : 25 September 2007
Sumber : http://ptp2007.wordpress.com/2007/09/25/pewarna-dari-rumput-laut/


Disini saya akan menambahkan informasi,berhubungan dengan pewarna alami yang mengandung zat alami dari klorofil yang bersumber pada tumbuhan rumput laut,belakangan ini para peneliti, melalui program riset unggulan dari Kementerian Riset dan Teknologi, mengembangkan rumput laut sebagai pewarna, baik untuk makanan maupun tekstil.

Tumbuhan berklorofil ini memang kaya warna.Warna itu bersumber dari empat suku rumput laut, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Phaephyceae (alga coklat), Chlorophyceae (alga hijau), dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Sesuai dengan namanya, alga tersebut mengandung zat warna alami, yaitu merah, coklat, hijau, dan biru-hijau.Seecara langsung pada rumput laut terdapat senyawa alganiat yang memiliki Khasiat biologi dan kimiawi,dimanfaatkan pada pembuatan obat antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi, dan mengatasi gangguan kelenjar. Jadi,apabila kita mampu menggunakan rumput laut tersebut sebagai bahan pewarna alami maka akan banyak manfaat bagi tubuh kita. Dalam hal ini kawasan timur Indonesia merupakan daerah yang memiliki potensi rumput laut yang terbesar karena,daerah ini berupa teluk yang airnya tenang, relatif dangkal, bersuhu panas, atau sedikit hari hujan.

Rabu, 07 November 2007

DKP lakukan klasterisasi 10 jenis rumput laut

Tanggal : 7 November 2007
Sumber : http://202.158.49.150/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id29551.html


JAKARTA: Departemen Kelautan dan Perikanan menargetkan 10 jenis rumput laut unggulan dapat dikembangkan dalam dua tahun ke depan melalui pendekatan klasterisasi usaha budi daya komoditas itu untuk meningkatkan daya saing produk.

Meski mayoritas produk itu termasuk dalam spesies Cotonii, Gracilaria, dan Sargassum, 10 komoditas unggulan itu akan dihasilkan oleh masing-masing klaster yang akan dibuka di 10 lokasi sasaran.

Ketua Komisi Rumput Laut Farid Ma'ruf mengatakan 10 komoditas yang dihasilkan 10 klaster itu akan menjadi produk unggulan dengan spesifikasi khusus yang berbeda-beda sehingga menambah nilai jual di pasar internasional.

"Selama ini rumput laut kita dijual mentah dan dicampur-campur. Yang akan kami lakukan adalah 10 klaster ini nanti masing-masing akan menghasilkan jenis yang khusus dari bibit yang dan seragam bagus sehingga nanti ada 10 jenis rumput laut unggulan kita. Misalnya Cotonii dari Gorontalo, alga merah dari Bali dan sebagainya," katanya.

Dalam dua tahun ke depan, tambahnya, 10 lokasi klaster tersebut ditargetkan dapat segera berproduksi sehingga masing-masing daerah memiliki jenis spesifik yang menjadi produk unggulan.

Saat ini, kata Farid, dua klaster rumput laut telah direalisasikan di Gorontalo dan Madura. Dengan spesies utama yang dibudidayakan Cotonii, komoditas asal dua daerah itu memiliki karakteristik yang berbeda.

"Rumput laut itu unit. Meski sama-sama Cotonii, tetapi kalau berbeda lokasi budi dayanya, kondisi alam, air lautnya, produk yang dihasilkan juga berbeda. Ini nilai tambah yang sedang kita kejar."

Selain menargetkan 10 jenis rumput laut unggulan, dia mengatakan pihaknya tengah mengupayakan mengatur tata niaga komoditas ini yang saat ini dikuasai tengkulak sehingga permainan harga terjadi dan tidak menguntungkan petani.

Harga rumput laut kering di pasar internasional yang sempat mencapai lebih dari Rp6.000 per kilogram tidak memberikan keuntungan lebih bagi petani karena harga rata-rata di tingkat petani baru ada yang berkisar hanya Rp2.500 per kilogram.

Kamis, 01 November 2007

Rumput Laut Jadi Kertas------------ Alternatif Atasi ''Illegal Logging''

Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/11/1/e1.htm


Denpasar (Bali Post) -
Selama
ini pemanfaatan rumput laut di Indonesia masih terbatas terutama pada produk makanan. Belum ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan output budi daya rumput laut. Padahal jika ini dikelola dengan benar, ternyata banyak produk yang bisa dihasilkan dari salah satu hasil laut yang konon dapat dikembangkan di seluruh pesisir Indonesia ini. Salah satu hasil pengolahan rumput laut adalah kertas. Jika dikelola dengan skala besar, mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.

Hal tersebut dikatakan Director Pegasus Interbational Churl H You didampingi Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Prof. Dr. Martani Husaini di Denpasar, Selasa (30/10), usai pembukaan Seaweed International Business Forum and Exhibition di Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur.

Dikatakan Chur, proses pemanfaatan rumput laut menjadi kertas itu sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Apalagi ditambah siklus hidupnya yang terbilang cepat, yakni 45 hari. Sangat jauh berbeda jika yang diolah menjadi kertas itu kayu.

''Proses pengolahan kayu menjadi kertas menggunakan banyak macam bahan kimia berbahaya. Berbeda halnya dengan rumput laut yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia itu tadi,'' ujar Churl sembari menambahkan, proses pengolahan itu di antaranya boilling process dan bleaching dengan menggunakan kaporit.

Dia berpendapat, jika kelak industri ini dapat dikembangkan secara massal, tidaklah mustahil pembabatan hutan dapat dikurangi. Terlebih lagi dengan maraknya kasus illegal logging saat ini. ''Ini sisi lain keuntungan yang dapat diraih dari pemanfaatan rumput laut. Hutan perlu waktu lama untuk pulih. Alternatif ini tentu memberikan solusi bagi pelestarian lingkungan hidup,'' tambahnya.

Potensial

Prof. Martani menyebutkan saat ini pemerintah sedang mengupayakan untuk melakukan kerja sama dengan pihak asing terkait pemberdayaan hasil budi daya rumput laut. Salah satunya seperti yang dilakukan dengan Churl. ''Industri semacam ini sangat potensial dikembangkan. Jika ini dapat dikembangkan lagi sebagai mass industry, diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat pesisir yang tergolong miskin,'' katanya, sambil menyebutkan di Bali akan dibicarakan mengenai kerja sama mengenai hal tersebut.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan saat membuka forum tersebut mengatakan pengembangan rumput laut di Indonesia sangatlah memungkinkan untuk dilakukan. Sebab tidak terlalu rumit dan membutuhkan banyak dana. ''Tinggal bagaimana sekarang pihak pemda dan swasta memberdayakan cluster area yang sudah ada. Ditambah lagi peningkatan end product rumput laut yang selama ini baru dimanfaatkan untuk dijadikan makanan. Belum mengarah ke hal lain yang lebih menguntungkan,'' ujarnya. (ded)